PANTANG MENYERAH, BADAI PASTI BERLALU

Judul            : Tidak Ada yang Tidak Bisa
Pengarang   : Dahlan Iskan
Penerbit       : Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012, 263 Hlm.
Oleh             : Irkhamiyati, M.IP.*

Setiap orang pasti punya masalah. Berat atau ringan masalah tergantung kemampuan masing-masing dalam menghadapinya. Bagi orang yang kuat, seberat apapun masalah, pasti ada jalan keluarnya. Begitu pula dalam kehidupan ini, cobaan demi cobaan pasti silih berganti. Sebesar apapun badai yang menerpa kita, pasti akan berlalu jua. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT bahwa “Allah SWT tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya”. Selagi kita mau berusaha dan terus berdoa kepada-Nya, niscaya akan selalu ada jalan keluar dari setiap permasalahan yang menerpa.
Buku ini sangat menarik bagi saya. Buku yang sudah saya beli lama ini, ternyata baru sempat saya baca di saat harus menikmati Work from Home akibat dari Pandemic Covid 19. Niat awal hanya sekedar ingin mengusir rasa kantuk dan menghindari tidur siang. Tiba-tiba perhatianku tertuju pada sebuah buku bercover merah. “Tidak Ada yang Tidak Bisa”, judulnya sangat menarik. Begitu mulai membaca daftar isinya saya mulai tertarik lagi untuk membaca lebih detail halaman per halaman isi di dalamnya.
Buku yang ditulis oleh Dahlan Iskan ini disampaikan dengan bahasa yang lugas dan jelas. Tidak banyak bahasa kiasan di dalamnya. Saya lebih menyukainya, karena saya rasa lebih to the point dalam penyampaikan isi tulisan. Buku ini menceritakan perjuangan seorang warga bukan pribumi, yang akhirnya di ending pemerintahan Bung Karno baru berhasil mendapatkan pengakuan sebagai WNI. Dia adalah Karmaka Surjaudaja atau Kwee Tjie Hoei. Perjuangannya dimulai sejak dia masih berumur 10 bulan. Dia dibawa ibunya dengan berlayar menaiki Kapal Siliwangi dari Hokja Tiongkok menyusul ayahnya ke Kota Bandung. Dia yang terkena diare dan demam saat kapal mau mendarat, harus tertahan berhari-hari di kapal sampai akhirnya ada penjamin bisa berkumpul dengan ayahnya di Bandung. Kehidupan saat itu pada masa penjajahan Belanda dan Jepang menjadikannya sebagai orang yang harus hidup dengan penuh kerja keras.
Dia anak yang cerdas, mampu menjalani lika-liku kehidupan dengan pantang menyerah. Sekolah dijalaninya dengan banyak tantangan. Dia lulus SMA bersamaan dengan adiknya, karena dia sempat putus sekolah demi bekerja menggantikan ayahnya yang sakit. Setelah lulus SMA pun dia harus rela memilih bekerja demi menghidupi keluarga dan membiayai adik perempuannya yang kuliah di Kedokteran UI. Pekerjaan seadanya tetap dia jalani. Mulai dari buruh pabrik, juru ketik, tukang reparasi elektronik, guru olah raga, guru les privat, dsb. Semua dijalalaninya dari pagi sampai malam demi keluarganya. Kata-kata pedas dan keras pun tak luput sering dia dapatkan selama melakoni pekerjaannya yang dimulai di pabrik tekstil di mana dulu ayahnya pernah bekerja. Hal itu yang memotivasinya agar kelak jika jadi orang sukses, dia berjanji tidak akan semena-mena terhadap karyawannya.
Berkat kecerdasannya, sempat ada dua tawaran pekerjaan mapan, dengan jabatan dan gaji yang tinggi, serta fasilitas lengkap lainnya. Demikian juga dengan jodoh yang akan dicarikan untuknya, serta kesempatan kuliah ke Jepang, yang merupakan salah satu impiannya yang tertunda, yaitu kuliah di Teknik Elektro ITB. Namun karena dia tak mau menghianati gadis pujaan hatinya, semua tawaran itu dilepaskannya demi menjadikan gadis yang tak lain murid les privatnya itu sebagai istri yang sampai kini terus setia menemani dalam suka dan duka. Gadis itu tak lain adalah anak seorang keturunan Tiongkok pemilik Bank “N” yang kaya raya.
Dia tidak serta merta menggantungkan nasibnya kepada mertuanya. Meskipun mertuanya adalah orang yang terpandang di Bandung, dia tetap mencari pekerjaan sendiri. Sang istri demi cintanya kepada Karmaka, rela hati hidup bersamanya di rumah keluarga besarnya yang bukan keluarga kaya. Usaha mencari pekerjaan yang belum berhasil setelah menikah, membuat mertuanya memberi informasi sebuah pabrik tekstil milik temannya yang barangkali mau menrima dia bekerja di sana. Dia diterima bekerja di sana, meski jarak tempuh lumayan jauh, namun dia menekuni pekerjaan tersebut dengan senang. Dari tempat itu dia memperoleh banyak pengalaman bagaimana menjalin relasi, bagaimana memperlakukan karyawan dengan baik, dsb.
Meskipun mertuanya seorang pemilik Bank “N” yang terkenal, namun karena tidak ada instruksi untuk berkecimpung di dalamnya, maka dia pantang melibatkan diri di dalamnya. Suatu ketika banyak karyawan yang mencarinya dan melaporkan kondisi bank yang hampir bangkrut. Mertuanya setelah beberapa tahun berziarah mengunjungi leluhurnya di Tiongkok bersama anggota keluraga lainnya masih tertahan belum bias pulang ke Indonesia karena urusan paspor. Mereka tertahan di Hong Kong. Kondisi tersebut membuta orang kepercayaan mertuanya mengambil kesempatan dalam kesempitan. Setelah mendapat perintah dari sang mertua, barulah dia mulai mencari akal bagaimana caranya bias masuk ke dalam lingkungan Bank “N” milik merutanya tersebut. Berbagai cacian, makian, dan kesulitan dia dapatkan. Berkat ketekunan, kecerdasan, dan berbagai bakatnya dalam berbagai hal, akhirnya dia mulai berhasil masuk dalam jajaran pimpinan dalam bank tersbut. Dia berniat menyelamatkan bank itu demi mertuanya. Amanah dari sang mertua untuk menyelamatkan Bank “N” tidaklah mudah. Darah, keringat, tawa, dan air mata selalu mengiri langkahnya. Berkali-kali cobaan dilaluinya, mulai dari penghianatan orang dalam, penculikan, pembunuhan, krisis kepercayaan oleh masyarakat yang menjadikan bank hamper bangkrut, krisis moneter, dll. Cobaan demi cobaan selalu bisa dilaluinya dalam 12 tahun awal hidup dalam dunia perbankan.
Cobaan tidak hanya dari luar saja, namun cobaan yang menimpa diri pribadi benar-benar menjadi beban juga. Perjuangan melawan diri sendiri juga banyak dilaluinya, seperti upaya bunuh diri yang gagal yang dilakukannya ketika stress menghadapi Bank yang diamanahkan di ujung tanduk. Belum lagi vonis dokter yang mengatakan bahwa dia hanya bisa bertahan hidup 5 tahun lagi di usianya yang masih produktif, yaitu di umur 44 tahun. Dia terkena sirosis liver. Namun Tuhan berkehendak lain, sampai lebih dari 30 tahun setelah divonis mati, dia masih diberi kesempatan hidup panjang, meski harus menjalani transpalansi hati dan ginjal dalam waktu yang berbeda. Penyakitnya dimulai dari empedunya yang pecah, transpalansi liver di Amerika. Selanjutnya ginjal yang satu harus dioperasi karena terkena kanker ganas, sedangkan ginjal yang satunya lagi pada tahun berikutnya harus ditransplantasi karena sudah tidak berfungsi. Tahun berikutnya, kankernya menjalar ke kandung kemih. Selama tiga tahun harus menjalani operasi untuk membuang 25 butir tumor kanker. Patah kaki karena jatuh juga pernah dialaminya, begitu pula dengan pengambilan tumor di telinga. Semua dilalui berkat dukungan keluarga tercinta, serta karyawan dan direksi Bank “N” yang penuh loyalitas dan kekeluargaan terhadap dirinya.
Semua cobaan di atas bisa dilalui, dengan semangat dan keyakinannya tinggi bahwa “tidak ada yang tidak bisa” dalam dunia ini, karena Tuhan pasti mendengar doa hamba-Nya. Ijazah hanya SMA bukan halangan untuk bisa meraih sukses. Itulah yang mengalahkan semua rintangan yang dihadapinya. Hal yang patut diteladani adalah meskipun dia hidup berkecukupan, namun gaya hidupnya tetaplah bersahaja, jauh dari rokok dan narkoba. Sikapnya yang gentle, jujur, pekerja keras, dan suka membantu, membuat orang lain mudah bekerja sama dengannya. Kecintaannya dengan keluarga juga patut dicontoh, begitu pula dengan cara mendidika dan saling menyayangi anak istrinya. Prinsipnya kuat bahwa investasi pendidikan untuk anak lebih diutamakan dibandingkan jika hanya memberikan warisan berupa kekayaan yang akan lebih mudah habisnya. Hal itu terbukti dengan makin majunya Bank “N” di bawah pengawasannya, meski dijalankan oleh anak-anaknya yang cerdas dan pekerja keras juga. Bank “N” berhasil menjadi 5 besar bank di Indonesia yang berkembang dan bagus. Tak sampai di situ saja, istrinya yang merupakan pewaris bank besar juga selalu memutar otak dengan mendirikan berbagai bidang usaha untuk saling mendukung demi kesuksesan mereka. Hal itu juga yang ditularkan kepada anak-anak mereka, sehingga mereka berhasil menjadi orang sesuai profesi masing-masing dan turut berkontribusi membesarkan bank amanah keluarga.
• Penulis adalah Kepala Perpustakaan UNISA Yogyakarta