SI ANAK PEMBERANI, PEMBELA KEBENARAN DAN KEADILAN

 

Oleh: Irkhamiyati, M.IP*

Judul               : Si Anak Pemberani

Pengarang       : Tere Liye

Terbitan           : Jakarta: Republika Penerbit, 2018, 424 hlm.

Eliana, atau Kak Eli terlahir sebagai anak sulung. Itulah yang menjadikan dia tak lepas dengan kodratnya yang harus mampu menjadi anak yang kuat, yang mampu melindungi dan menjadi contoh bagi adik-adiknya. Suatu ketika hal tersebut seolah menjadi beban baginya. Suatu hari dia lengah dalam mengawasi adiknya, yang menyebabkan kaki adiknya terluka. Mamak tak menghiraukan ketika Eli pulang selepas menonton layar tancap, sebagai bentuk hukuman. Eli lantas kabur selama tiga hari ke rumah Wak Yati budhenya. Eli marah dengan mamak. Dia merasa diusir mamak dari rumah, karena malam hari pertama ketika dia kabur, menurut Wak Yati, mamak mengantarkan kebutuhan sekolah dan baju-baju pengganti. Bahkan ketika bertemu Amelia adiknya, saat mengaji di rumah Nek Kiba, Amel bercerita kalau mamak tak menanyakannya. Eli bertambah marah karena pada malam ke tiga dia kabur, yang menjemputnya pulang bapak, bukan mamak. Namun akhirnya setelah dia mendengar pembicaraan Wak Yati dengan seorang perempuan malam-malam, dia baru sadar bahwa selama ini meskipun Eli kabur, ternyata mamak selalu mengeceknya, membetulkan selimutnya, menciumnya, dsb. Eli pun akhirnya menyadari begitu besar cinta, kasih sayang, dan  pengorbanan mamak untuk dia dan adik-adiknya tanpa membedakannya.

Eli dan ketiga adiknya, yaitu Pukat, Burlian, dan Amelia sama-sama didik oleh bapak dan mamak dengan hidup yang sederhana, kerja keras, disiplin, dan penuh religi. Hal tersebut yang selalu dibekalkan kepada anak-anak Pak Syahdan dan Mak Nung yang akhirnya mengantarkan mereka menjadi orang sukses di kemudian hari. Selama ini Eli sudah terbiasa membantu pekerjaan orang tua. Kemampuan mamaknya yang multitasking juga menurun kepadanya, termasuk kebiasaan mengomel ketika adik-adiknya ketika mereka nakal, bahkan melebihi omelan mamak kepada anaknya.

Si sulung Eli meskipun seorang perempuan, namun punya keberanian yang luar biasa. Dia pun selalu rangking 1 di kelasnya sejak kelas satu sampai kelas lima. Di usinya yang masuk kelas 6 SD, keberaniannya semakin terlihat. Ia tidak pernah menangis untuk masalah yang sepele. Suatu ketika tak sengaja dia dan Amel menunggu ayahnya dan beberapa tokoh kampung yang sedang melakukan pertemuan dengan orang-orang penting di gedung kota. Mereka sedang membahas masalah penggalian pasir yang dilakukan di kampungnya. Eli mendengar seseorang telah mengatakan kalau bapaknya tak mampu membelikan baju baru untuk anak-anaknya, bisanya di loakan, dsb. Itulah saat pertama kali dia menangis. Dia merasa sakit hati oleh omongan Pak Johan. Dia adalah pengusaha pasir atau mantan mandor bapaknya ketika bekerja sebagai kuli bangunan saat membangun Bandara Palembang. Pak Johan mengatakan bahwa bapak adalah keluarga misikin. Spontan Eli berteriak keras di depan ruang pertemuan: “Jangan hina bapakku, walau kami hidup sederhana, sungguh keluarga kami tidak hina. Bapak kami tidak pernah mengambil yang bukan haknya, apalagi menghidangkan nafkah busuk ke meja makan. Hal itu membuat seisi ruangan terdiam, dan mengakhiri rapat yang belum juga menemukan kesepakatan. Penambang pasir tetap ngotot melakukan penambangan karena merasa sudah mengantongi ijin.  Sementara masyarakat yang diwakili bapak, kepala kampung, dll, tetap menolak kegiatan tersebut yang dinilai merusak alam dan menguntungkan pengusaha saja.

Sebagai anak yang pemberani, Eli tak kalah beraninya dengan kawan-kawan laki-laki di sekolah. Berbagai tantangan selalu dia terima yang diakhiri dengan kemenangan. Contohnya saat Anton menantangnya dalam berbagai lomba, termasuk mengumandangkan Adzan Magrib di masjid kampong mereka. Tak heran, setelah penduduk kampung mendengar suara anak perempuan adzan, semua berdatangan ke masjid. Pengadilan dimulai, yang diakhiri dengan pembelaan oleh Nek Kiba, guru ngaji di kampung. Suara adzan Eli setidaknya lebih kuat daripada suara adzannya laki-laki. Terbukti setelah Eli adzan, penduduk kampung berdatangan, entah hanya sekedar melihatnya, memarahinya, atau memang mau solat di masjid. Begitu juga yang sedang asyik nongkrong-nongkrong mereka bergegas ke masjid, tidak seperti biasanya .

Keberanian Eli melawan penambang pasir yang meresahkan penduduk kampung, menginspirasi dia dan 3 temannya membentuk Gank Buntal. Mereka mulai melakukan pengintaian ke tambang pasir dan menyusun strategi penyerangan untuk mengempesi ban. Aksi pengempesan ban gagal, yang menyebabkan dia bersama ganknya diselamatkan Marhotap (teman yang sebelumnya membuatnya kesal), dengan menyelam di Lubuk Larangan. Mulai saat itu Eli dan Marhotap berdamai, apalagi setelah Marhotap menceritakan rahasia tempat dia mencari batu alam yang bagus-bagus untuk dijadikan berbagai manik-manik dan aksesoris yang mahal harganya.

Sejak aktivitas pengerukan pasir, ladang jagung gagal panen, air sungai keruh sehingga tidak bisa untuk mandi, mencuci, dan sulit mencari ikan, termasuk keluarga Marhotap susah mencari bebatuan indah untuk souvenir. Begitu pula dengan petani yang mau menyeberang ke ladang seberang sungai tidak diijinkan melewati pos pengeruk pasir. Penduduk banyak dirugikan.

Suatu malam setelah selesai mengaji, Eli dipamiti Marhotap untuk melemparkan kantong balon yang berisi bensin ke truk pengeruk pasir. Misi Marhotap adalah meledakkan truk-truk itu sehingga penambang pasir akan meninggaplkan kampung mereka. Marhotap berhasil meledakkan beberapa truk, namun dia gagal menyelamatkan diri. Dia terkena tembakan, dan jasadnya tak ditemukan. Eli yang malam itu menyaksikan peristiwa nahas tersebut menceritakan ke bapaknya. Namun sampai proses penyelidikan berlangsung, Eli oleh polisi justru dikatakan kalau dia hanya berimajinasi saja. Pak Johan terlalu pintar dan berpengalaman dalam menyuap pejabat dan polisi, termasuk menghilangkan barang bukti. Semua truk yang terbakar telah disingkirkan, bahkwan ke mana mereka mengubur Marhotap tak seorang pun yang mengetahuinya.

Peristiwa di atas menambah amunisi keberanian Eli. Terlebih ketika dia tak sengaja mendengar pembicaraan anak buah Pak Johan. Mereka mengatakan bahwa baju berdarah dan batu manik-manik Marhotap mereka simpan di laci meja pos penjagaan pengerukan pasir dan tidak dikunci. Tanpa pikir panjang, Eli langsung menyusun strategi bersama Gank Bantalnya. Mereka ingin mengambil barang bukti tersebut. Sayang sekali, untung tidak berpihak di Gank Buntal, ternyata mereka masuk dalam jebakan yang sudah disusun Pak Johan. Omongan anak buah Pak Johan hanya untuk memancing Eli dan kawan-kawan datang. Setelah itu Pak Johan akan menawarkan negosiasi kepada penduduk. Dia akan menukar anak-anak itu dengan ijin penambangan penduduk. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya Eli dan gangnya sudah berhasil mengumpulkan semua tanda tangan atau cap jempol semua penduduk atas penolakan penambangan pasir tersebut. Sayangnya hal itu dianggap tidak legal dan tidak fair oleh pejabat dan Pak Johan.

Malam itu Eli dan ganknya masuk perangkap Pak Johan. Mereka disekap dalam sebuah truk kontainer yang gelap dalam keadaan mulut tertutup. Berbagai usaha Eli dan ganknya dilakukan untuk melepaskan diri gagal. Kepasrahan akhirnya yang bisa dilakukan, hingga terdengar suara gemuruh. Ternyata hujan turun lebat yang menyebabkan banjir bandang dan meratakan pos penambangan pasir. Semua truk terbawa arus, termasuk kontainer tempat menyekap mereka.

Pagi hari setelah air surut penduduk membuka kontainer yang tersangkut di antara pohon-pohon di hutan dekat penambangan pasir. Eli dan kawan-kawan selamat. Jasad Marhotap yang dikuburkan di hutan larangan ditemukan. Kalung manik pemberian Marhotap yang kuminta untuk disimpannya juga ditemukan dalam sakunya. Itulah kenang-kenangan untuk Eli selamanya. Pak Johan tidak menambang pasir lagi di kampung mereka. Setidaknya usaha Eli untuk menyelamatkan alam sekitar dan hutan di wilayahnya sudah dilakukan, meskipun setelah Eli dewasa dan menjadi pengaca sukses serta pakar lingkungan alam, terdengar kabar kalau Pak Johan sudah mulai merencanakan penambangan batu bara lagi di kampung mereka. Eli siap berjuang melawan kebenaran dan keadilan, sesuai cita-citanya sejak kecil. Eli memang si Anak pemberani.

Setelah membaca novel ini, alur ceritanya saya rasakan sama dengan gaya penulisan dalam serial anak mamak di novel-novel sebelumnya. Penulis terkesan memutus satu kasus yang nantinya akan dimunculkan sebagai akhir cerita di bab terakhir, agar pembaca penasaran. Serial Si Anak Pemberani ini tetap menarik untuk dibaca sebagai motivasi bagi anak-anak Indonesia. Pesan kuat dalam novel ini yaitu bahwa masa anak-anak jangan hanya dihabiskan untuk bermain saja. Anak harus dididik dengan benar sejak kecil tanpa mengurangi kemerdekaan masa bermainnya, agar kelak menjadi orang yang sukses dan benar di masa depan.

  • Penulis adalah Kepala Perpustakaan UNISA Yogyakarta