PUKAT BUKAN HANYA SI ANAK PINTAR, TAPI GENIUS

Judul : Si Anak Pintar
Pengarang : Tere Liye
Terbitan : Jakarta: Republik Penerbit, 2018, 349 hlm, 21 cm.
Oleh : Irkhamiyati, M.IP.*

Dia namanya Pukat, murid kelas 5 SD, anak ke dua pak Syahdan, seorang pensiunan pekerja kereta api yang tinggal di pelosok kampung di daerah Palembang. Meskipun menjadi si anak kampung yang serba kekurangan, tidak menjadikannya menjadi anak yang malas dan bodoh. Listrik yang belum masuk kampungnya, bukan hambatan untuk mengaji dan belajar di malam hari. Begitu pula dengan sederhananya baju seragam dan sepatu bukan hambatan untuk bersekolah. Anak ke dua dari empat bersaudara ini tumbuh dan berkembang dari keluarga sederhana namun hidupnya sungguh penuh warna.
Suatu hari Pukat dan adik lelakinya yang bernama Burlian diajak ayah mereka ke Kota Palembang. Tujuannya untuk menjenguk teman lama ayahnya yang bernama Koh Acan. Burlian berbeda dengan si Pukat kakaknya. Selama dalam perjalanan, Burlian lebih banyak bertanya, seperti sikap kesehariannya, sedangkan si Pukat lebih bisa berfikir sebelum menanyakan sesuatu. Dalam berbagai keadaan, si Pukat juga biasa bertindak lebih pintar dari teman-teman dan saudaranya. Perjalanan naik kereta itu merupakan pengalaman pertama bagi mereka. Kesempatan itu sungguh sangat langka dan berharga bagi mereka. Meskipun suara klakson kereta api sering mereka dengar, meskipun jalannya kereta api sering mereka lihat di rel ketera yang melintasi ujung desanya, namun naik kereta api sungguh merupakan hal yang mereka nantikan selama ini.
Inilah pengalaman pertama naik kereta api yang sangat menegangkan bagi Burlian dan Pukat. Tiket kereta Burlian hilang. Burlian memang keras kepala, sebelum mereka menaiki kereta, dia bersikeras mau menyimpan tiket itu sendiri. Angan-angannya sederhana, yaitu sebagai pengalaman pertama, ketika dicek oleh kondektur, dia akan menunjukkan tiketnya langsung, lalu tiketnya dilubangi. Tapiapa yang diangankannya sejak lama, tidak menjadi kenyataan. Pukat dan Burlian teringat omongan bapak sejak duduk di kereta, bahwa yang ketahuan tidak membawa tiket, maka akan diturunkan dari kereta. Karena Pukat dan Burlian ketakutan hal itu akan menimpa Burlian, maka sebelum lima langkah lagi kondektur sampai di kursi Burlian. Pukat: “Ayo cari lagi tiketnya”. Burlian tanpa disuruh langsung melepas baju dan celananya. Dia mengibas-ngibaskannya, dengan harapan tiket terjatuh di kakinya. Namun sampai kondektur yang berkumis tebal dan berbadan besar sudah di depannya, karcis itu tak ditemukannya. Apa yang dia lihat sungguh berbeda. Sang kondektur berteriak keras: “Hai Pak Syahdan, apa kabarnya, lama kita nggak ketemu ya Pak”. Bapak masih ragu sambil terus menatap si kondektur itu. Tak berapa lama kondektur menyambung “Ini aku Sipahutar Pak”. Bapak pun segera menjabat dan memeluk sahabat lamanya itu. Ternyata bapak dan si kondektur pernah sama-sama bekerja sebagai penjaga tungku lokomotif.Setelah berbincang-bincang cukup lama, si kondektur pergi meninggalkan kami, tanpa mengecek tiket kereta kami. Bayangan si Pukat bahwa kondektur akan melobangi tiket mereka berlalu sudah. Bapak bilang :”Ini hari istimewa bagi kau Burlian, karena tanpa tiket kereta kau tidak diturunkan di jalan”. Burlian lega, begitu pula dengan si Pukat sangat plong karena tidak jadi kehilangan adiknya.
Beberapa menit setalah mereka lega akan peristiwa pengecekan tiket, suatu hal yang membuat Burlian dan Pukat penasaran akan terjawab. Sebuah terowongan panjang yang akan dilalui kereta api. Banyak cerita seram yang sering mereka dengar akan kisah terowongan itu. Maka ketika kereta mulai memasuki terowongan, tangan Burlian memegang erat baju bapak. Pukat pun tampak takut, mereka memejamkan mata. Bapak mulai menggoda mereka. “Katanya kalian penasaran, kenapa malah tidur, dengan kalian memejamkan mata, sama saja kalian tidur di rumah” “Ayo buka mata kalian, perintah bapak”. Pelan-pelan mereka mulai berani membuka mata, melihat ke kanan kiri ke luar kereta. Pemandangan yang sangat berbeda. Gelap gulita, bahkan untuk melihat batang hidung sendiri saja tidak bisa. Suara kelelawar yang ada dalam imajinasi mereka juga tidak terdengar.
Tak berapa lama terdengar suara klakson kereta sangat keras, dan kereta mengerem mendadak, sehingga banyak penumpang yang terjatuh dan barang-barang banyak yang berjatuhan dan berserakan ke depan. Belum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba terlihat cahaya senter dari arah lain dan terdengar suara keras: “Bapak, Ibu, Saudara, mohon kerja samanya, Serahkan harta, emas, uang, jam, dan sebagainya, tolong masukkan ke dalam karung goni yang akan lewat di depan Saudara semua”. Belum hilang rasa penasaran mereka, terdengar lagi suara selanjutnya: “Kami tidak akan kasar jika kalian tidak melawan, maka ayo cepat masukkan barang berharga kalian ke karung goni, tapi ingat bagi siapa yang berani melawan, maka tak segan akan kami tembak, dan kami lempar ke luar, sehingga kalian bisa mati di terowongan panjang”, bentak suara dalam kegelapan itu. Burlian dan Pukat ketakutan.
Mereka menduga ada hal yang tidak beres. Bapak berbisik “Ini perampokan, mereka pintar merampok saat kereta melintasi terowongan”. Kita tidak bisa saling melihat wajah entah itu perampok, penunmpang, atau petugas kereta”, sambung bapak lagi. Tak berapa lama, terdengar suara ibu-ibu menangis karena mempertahankan kalung di lehernya yang akhirnya terpaksa diambil paksa masuk ke karung goni. Beberapa menit kemudia, terdengar suara letusan senapan api, ternyata ada penumpang yang ditembak karena melawan, dan suara tendangan ke luar kereta terdengar sangat jelas. Perampok sangat sadis, tega mendorong penumpang yang berani melawan ke luar dan jatuh di terowongan panjang. Jantung Pukat dan Burlian berdegub kencang, apalagi karena cahaya senter perampok bergantian menyinari wajah bapak, Burlian, Pukat, dan penumpang di sebelah Pukat. Pada saat giliran karung goni sudah mendekat di depan mereka, maka bapak pun terpaksa melepas jam tangan, memasukkan dompet yang berisi uang ke karung besar. Beberapa menit setelah itu, kereta berjalan seakan tanpa kendali. Semua orang dalam gerbong gaduh. Mereka tidak bisa melihat wajah perampoknya karena gelap dalam terowongan panjang.
Setelah kereta keluar dari terowongan, para penumpang saling bertanya, siapa perampoknya. Namun tak ada satupun yang dapat mengetahuinya. Mereka saling curiga. Bahkan bapak karena berusaha menenangkan penumpang lainnya, malah dituduh sebagai perampoknya. Dalam situasi gaduh dan laju kereta yang semakin cepat, bapak menyuruh Pukat dan Burlian untuk berlari mengikutinya. Mereka bergerak cepat terus maju dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Setelah melewati beberapa gerbong sambil melompat dan terus berlari, sampailah mereka di lokomotif. Tak disangka di sana dilihatnya masinis tergolek jatuh. Ada juga Sipahutar, si kondektor yang berdarah di pelipisnya. Ternyata kawanan perampok sebelumnya beradu jotos dengan mereka. Bapak langsung mengambil tuas untuk mengendalikan laju kereta dengan sekuat tenaga. Setelah berapa detik kemudian, laju kereta berjalan miring 30 derajat. Bayangan jelek mereka yaitu kereta akan oleng dan gerbong akan jatuh ke samping rel. Bisa dibayangkan andai hal itu terjadi, maka berapa ratus penumpang akan jadi korbannya. Namun tak berapa lama, untung kereta bisa berjalan normal.
Selanjutnya bapak berkata kepada Sipahutar bahwa mereka harus segera berlomba dengan kawanan perampok, sehingga dalam waktu 30 menit kereta harus sudah sampai di Stasiun Kota tujuan. Bapak menyuruh Sipahutar untuk menghubungi petugas stasiun bahwa telah terjadi perampokan, namun bingung bagaimana caranya. Ada akal, ketika kereta seharusnya berhenti di stasiun sebelumnya, bapak yang memegang kendali kereta, tidak menghentikannya di sana. Ketika kereta melewati stasiun kecil itu, Sipahutar diminta bapak untuk melemparkan barang keras yang sudah dibungkus kertas, yang isinya menyampaikan tentang perampokan, dan upaya menangkap perampok begitu kereta sampai di stasiun kota. Sebelumnya mereka berdiskusi bagaimana cara mengenali perampoknya, karena sulit mencari buktinya. Sangat sulit mengecek hampir 600 penumpang, dan akan memakan waktu lama untuk mengetahui perampoknya. Pukat melontarkan ide cemerlang: “Nanti dicek saja siapa yang ada aroma kopi menyengat di celana dan sepatunya”. Bapak bertanya lagi: “Kenapa begitu Pukat?”. Pukatpun menjawab: “karena aku tadi sempat menumpahkan kopi bubuk (yang sedianya mau diserahkan ke Koh Acan) ke sepatu dan celana perampok, saat bapak memasukkan dompet dan jam ke karung goni mereka”. Pukat memperlihatkan sebagian aroma bubuk kopi yang masih ada di tangannya”. Ide Pukat itulah yang membantu para tentara menangkap 2 perampok saat keluar dari peron stasiun kota. Tak berselang lama, 8 kawanan lainnya dapat ditangkap setelah berusaha kabur. Dan ada satu petugas stasiun di bagian peron yang ikut ditangkap. Ternyata barang hasil rampokan djatuhkan di peron stasiun kota. Perampok dengan petugas bagian peron tersebuttelah bekerja sama, dengan niatan menyembunyikan barang rampokan agar tidak dapat diketahui orang lain. Setelah penangkapan kawanan perampok itu selesai, komandan tentara dengan ramah menemui mereka sambil mengatakan : “Pukat, kau bukan hanya Si Anak Pintar, tapi kau Si Anak Genius”. Pukat tersipu malu mendengarnya. Berkat kepintaran Pukat, semua barang rampokan bisa diambil kembali oleh penunmpang kereta. Kisah perampokan di terowongan panjang menambah kisah seram akan misteri terowongan bagi penduduk sekitar. Setelah mengalami sendiri kejadian di terowongan, bagi Burlian dan Pukat, cerita seram terowongan panjang sama halnya degan tidur di kamarnya yang gelap di malam hari karena belum ada listrik yang menerangi desanya. Misteri terowongan menjadi cerita biasa bagi meraka, meski terkadang masih terasa menyeramkan juga.
Kisah perampokan di kereta merupakan salah satu bukti kepintaran Pukat si anak desa. Masih banyak kisah yang diceritakan di buku yang berjudul Si Anak Pintar ini. Pukat pintar di keluarga mereka. Pukat juga pintar dibandingkan dengan teman-teman sebanyanya. Salah satunya yang mengisahkan kepintaran Pukat untuk membantu Bu Ahmad berjualan dengan membuka sebuah warung yang pernah terkenal dengan istilah warung kejujuran. Pukat yang melontarkan ide, sehingga bisa mengatasi ketika ada masalah dengan warung kejujuran tersebut. Ada lagi kisah kepandaian Pukat untuk berusaha membantu menyelamatkan Raju sahabatnya agar selamat dari banjir yang siap merenggut nyawanya. Belum lagi kisah tentang teka teki Wak Yati (Budhe Pukat) yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris yang dituakan di desanya karena kepintarannya.
Berbagai kisah kepintaran Pukat sangat menarik dituliskan dalam buku ini. Kejujuran, kesederhanaan, kedisiplinan, kemauan untuk bekerja keras, kerelaan hati untuk mengaji dan membantu orang tua, mengantarkannya menjadi orang yang kelak berhasil sampai di Amsterdam. Hinga suatu ketika dia ingat pesan WAk Yati. Apabila Pukat sudah tahu jawaban teka-teki yang ditanyakan oleh Wak yati, maka bersegeralah untuk menjawabnya dengan keras, meski itu di pusarannya Wak Yati. Pertanyaan teka teki itu adalah: “Apakah harta paling berharga di kampung kita”?. Bukan 4 kotak yang berisi harta warisan penjajah Belanda yang ditemukan di masjid kampong jawabannya. Empat belas tahun setelah Pukat nun jauh di belahan negara lain baru menyadari dan mengetahui apa jawabannya. Jawabanya adalah mereka anak-anak kampung yang dibesarkan dengan didikan agama, semangat kerja keras, suka membantu, jujur, kesederhanaan, dan dibesarkan oleh kebijakan alam, sebagai harta paling berharga. Merekalah sebagai generasi penerus agar hutan dan tanah mereka tetap lestari dengan kejujuran, harga diri, perangai elok, serta sikap baik di manapun mereka berada.
Hari itu juga Pukat langsung memesan tiket Amsterdam-Jakarta-Palembang. Setibanya di bandara, ada pemandangan yang mengejutkan. Orang yang menjemputnya tak lain adalah Raju teman kecilnya yang didampingi perempuan cantik yang telah menjadi istrinya. Tak lain dia adalah Salekha, gadis cantik putri Bu Bidan, yang pernah menjadi cinta monyet Raju sejak SD. Raju yang pekerja keras sejak kecil, mampu mewujudkan cita-citanya menjadi seorang penerbang Angkatan Udara. Pukat si Anak pintar mampu menjadi harta paling berharga di kampungnya bersama teman-teman lainnya.
Buku ini pantas dibaca oleh siapa saja. Penuh dengan tauladan di dalamnya. Campur aduk rasa penasaran, tegang, seram, lucu, tertawa, bahagia, ada dalam buku ini. Orang tua yang pernah membacanya, pantas menceritakan kembali isi buku ini kepada anak sebagai salah satu contoh nyata akan kepintaran, ketekunan, dan kepatuhan anak bangsa.
• Penulis adalah Kepala Perpustakaan UNISA Yogyakarta